Wanita paruh baya itu
berperawakan pendek dan sedikit gemuk. Beberapa helai uban turut
menghiasi mahkota kepalanya yang diikat dengan penjepit rambut. Namun
raut wajah bulat telur itu seakan tak pernah sekalipun terlihat
cemberut. Ia selalu tampak riang, sehingga menyembunyikan parasnya yang
jelas telah digurati keriput.
Wanita itu memang tidak terlalu
rentan, tetapi kekuatan dan kegesitan di masa mudanya niscaya telah
direnggut usia. Karenanya, percayakah bahkan dari dirinya pun akan ada
sebuah pelajaran tentang makna cinta?
* * *
Selalu…
Sabtu
adalah hari yang ditunggu. Hari di mana nafas bisa dihela dengan
panjang, dan sejenak mengistirahatkan raga dari rentetan kesibukan yang
melelahkan. Saatnya pula untuk menikmati kebersamaan dengan seisi
anggota keluarga. Sehingga, berbelanja di sebuah supermarket dekat
rumah pun menjadi hiburan yang tak kalah meluahkan kebahagiaan.
Namun
sepertinya tidak bagi wanita itu. Bagaikan tak mengenal hari libur,
nyaris setiap waktu sosoknya selalu kutemui di sekitar kokusai kouryuu
kaikan serta kampus.
Layaknya hari kerja, dikemasnya
sampah-sampah yang berserakan serta dipisahkan antara yang terbakar dan
tidak. Lantas ditaruhnya pada plastik yang berbeda warna. Sebentar
kemudian diambilnya kain untuk mengelap kursi dan meja. Tak lupa,
dengan vacuum cleaner dibersihkannya juga permukaan lantai. Setelah
selesai ia segera beranjak ke toilet, lalu dengan mengenakan sarung
tangan plastik dibersihkannya bekas kotoran manusia tersebut tanpa raut
muka jijik.
Ia seperti tak peduli rasa lelah atau letih,
walaupun terlihat pakaian seragam cleaning service biru mudanya telah
basah bersimbah keringat. Tak juga kepenatan menyurutkan keramahannya
untuk bertegur sapa dengan siapa saja saat bertemu muka.
Wanita
itu entah siapa namanya. Hanya dengan panggilan obachan ia biasa
disapa. Saat bersua denganku, juga selalu disempatkannya bertanya
kabar. Bahkan ia pernah bercerita panjang lebar tentang anak-anak serta
cucunya karena sering melihatku berjalan-jalan dengan keluarga.
Beberapa kali pula saat usai kerja kulihat ia sedang berbelanja, masih
lengkap dengan seragam biru mudanya. Lantas ditaruh barang-barang
tersebut dikeranjang, dan perlahan dikayuhnya pedal sepeda tua untuk
beranjak pulang.
Entahlah, rasanya tak ada perasaan iri
dihatinya saat di hari libur ia ternyata harus bekerja, sementara aku
justru berleha-leha. Ia bahkan tetap saja semangat bekerja dengan penuh
suka cita. Begitu pula dengan obachan dan ojichan lain yang pernah
kutemui, mereka selalu asyik menikmati pekerjaannya. Mencabut rumput
liar di pekarangan kampus ketika musim panas, menyapu jalanan dari daun
yang berserakan pada musim gugur, bahkan dengan bersusah payah turut
menyerok tumpukan bongkahan salju di musim dingin.
Terlihat
betapa bergairahnya mereka ketika memang waktunya harus bekerja. Gairah
dalam bentuk kesungguhan dalam menekuni apapun jenis pekerjaan, yang
mungkin tak dipandang orang walau dengan sebelah mata. Karenanya, tak
terdengar ngalor-ngidul obrolan hingga jam istirahat tiba untuk sejenak
melepaskan lapar dan dahaga. Berselang satu jam kemudian, mereka akan
kembali sibuk menekuni pekerjaannya. Senantiasa egitu, dari waktu ke
waktu.
Rutinitas mereka mungkin tidaklah istimewa. Bekerja demi
memperoleh sedikit nafkah atau sekedar menghabiskan waktu luang, tentu
lebih baik dari bermalas-malasan di rumah. Terlebih-lebih itu adalah
pekerjaan kasar, bukan kerja kantoran yang menyenangkan dengan penyejuk
atau pemanas ruangan.
Lalu mengapa mereka selalu saja bekerja
seolah tak pupus oleh lelah? Bahkan bekerja bagaikan sebuah energi yang
tak kunjung padam, mengalir dalam pembuluh darah serta menggerakkan
jiwa dan raganya.
Sekejap akupun tepekur, kemudian mahsyuk merenung…
Dan
kulihat ada gairah membara yang berpendar dari balik kerut-merut
kelopak mata tua itu. Seolah sinar matanya menyiratkan pesan agar
bekerjalah dengan cinta. Karena bila engkau tiada sanggup, maka
tinggalkanlah. Kemudian ambil tempat di depan gapura candi untuk
meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan suka cita. (Kahlil
Gibran). Wallahu a’lamu bish-shawaab.
-Abu Aufa-
Catatan:
- Kokusai kouryuu kaikan: International House
- Obachan: wanita berumur, setengah tua
- Ojichan: pria berumur, setengah tu